Politik Uang Pilkades, Bukti Calon Pengecut Tak Berani Bersaing Sehat!

  • Whatsapp

KerinciHulu,Gegeronline.co.id-Politik uang (money politik) dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) bukan hal baru, apa lagi sejak Pemerintah Pusat RI menggulirkan Dana Desa (DD) Rp. 1 miliar yang bersumber dari dana APBN, untuk per Desa ditambah lagi dari Dana Alokasi Desa (ADD) oleh Pemerintah Kabupaten sekitar Rp. 330 juta, berarti dalam pertahun setiap Desa ada dana pembangunan  lebih kurang Rp.1,3 miliar dan telah dikucurkan selama lima tahun. Kini memasuki tahun ke enam, berarti jumlah uang per Desa yang dikelola Pemerintah Desa lebih kurang Rp.7,5 miliar, jika Kepala Desa punya komitmen yang kuat dan jujur sudah banyak kepentingan masyarakat yang bisa diselesaikan. Dan sebaliknya, para kades “nakal” hanya memperkaya diri, keluarga dan kelompok untuk mengembalikan uang suapan saat pilkades berlangsung, yang dimenangkannya.

Politik uang merupakan ketidak mampuan para calon Kades bersaing secara sehat, alias pengecut. Dan tidak punya kemampuan, ilmu dan kejujuran bersaing secara sehat. Hanya semata mengandalkan uang ditengah kesulitan ekonomi masyarakat, dan ketrerbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Kondisi ini dijadikan peluang bagi calon Kades/pemimpin di tingkat Desa, agar terpilih memangku jabatan Kepala Desa, untuk selama enam tahun kedepan.

Bacaan Lainnya

Makanya masyarakat harus cerdas dan cermat membaca tawaran pemberian uang dari calon atau tim calon, untuk memenangkan salah satu calon Kades didesanya masing-masing.  Jangan sampai terjebak dengan kepentingan sesaat untuk memenangkan seorang calon, yang akan berkuasa selama enam tahun, dan akan mengelola uang pembangunan Desa miliaran rupiah, diduga akan dikorupsi dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas di Desanya.

Masyarakat cerdas memilih maksudnya, pertama mempelajari jauh-jauh hari latar belakang jejak calon, kejujuran, ilmu, pengalaman, ekonomi dan tanggungjawabnya dalam mengelola sesuai profesi/pekerjaan sebelum mencalon Kades.

Politik Uang (Money Politik) dalam pemilihan Kepala Desa (Kades), beli jual suara antara calon Kades dan pemilik suara, adalah pembodohan terhadap masyarakat dan sangat berpotensi melahirkan Pemimpin/ Kades terpilih bermental korup, untuk mengembalikan uangnya yang habis dalam merebut kemenangan jabatan kursi Kepala Desa.

Untuk menghindari hal tersebut, maka masyarakat pemilih harus lebih cerdas dan (licik) dari calon Kades. Jika berulangkali ditawarkan, untuk memilih salah satu calon dengan berbagai cara dan alasan, “ambil saja uangnya, jangan pilih orangnya.”

Karena politik uang, “meracuni masyarakat, untuk memilih calon kades, bak kucing dalam karung, yang penting pilih, bukan Qualitas”. Disini masyarakat diuji secara mental dan kejujuran, cari uang dikit untuk kepentingan sesaat atau memilih calon kades terbaik, (bisa amanah).

Menjelang pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahap ke IV di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, akan berlangsung Februari 2021, rumor berkembang mahalnya nilai kursi yang akan diduduki Kepala Desa terpilih nantinya.

Untuk memperoleh satu suara bisa menghabiskan uang sekitar Rp150 ribu sampai Rp300 ribu, belum lagi biaya tim sukses yang harus bergerak dilapangan.

Dugaan kasus politik uang terjadi di Pilkades, 26 Desember 2019 di Kabupaten Kerinci, termasuk di Desa Tanjung Genting Mudik, yang berakhir tragis setelah Kades terpilih Dalton Erial Sandi, dilantik Februari 2020, terjadi pembakaran pondok dan rumah warga diladang (kebun), ini dampak dari dugaan politik uang,  penghitungan suara diduga curang dalam ruang tertutup pada malam hari, dan sejumlah tekanan pada pemilih. Sebagaimana diberitakan Gegeronline.co.id, sebelumnya.

Dan sejumlah protes yang dilakukan ke dinas terkait, meminta adanya Pemilihan Suara Ulang (PSU)  tidak di gubris, dampaknya sangat buruk hingga kini sejumlah warga di inggapi rasa ketakutan, kalau sampai terulang peristiwa yang sama. Mereka berharap jangan sampai berlanjut didalam Desa, kata sejumlah warga pada awak media ini.

Peristiwa kelam itu, jangan lagi terulang di Desa-Desa lainnya yang pilkadesnya akan berlangsung akhir tahun 2020 dan memasuki 2021 di Kabupaten Kerinci termasuk Desa Sungai Batu Gantih Hilir, yang nota benenya bersuhu politik tinggi. Politik uang adalah salah bentuk pembodohan terhadap masyarakat pemilih, untuk meraih kemenangan salah satu bakal calon kades.

Dan jika hak pilih seseorang sengaja di hilangkan, dan jual beli suara bisa di buktikan dengan cara tertangkap basah bisa di pidana antara penerima suap dan pemberi suap.

Makanya politik uang dalam pilkades dan pemilihan kepala daerah/ bupati, walikota dan gubernur dilarang, namun tingkat pembuktianya yang sulit, membuat kasus seperti ini jarang yang sampai kepengadilan. Akhirnya, antar pendukung mencari jalan pintas melampiaskan kemarahannya seperti pembakaran rumah dan pondok di kebun warga, Desa Tanjung Genting Mudik Kerinci, itu.

Dari pengamatan Wartawan Gegeronline dilapangan, kasus pilkades Tanjung Genting Mudik,  sebuah proses pelaksanaan yang sangat buruk, jangan sekali-kali terulang atau terjadi di pilkades desa-desa lainnya yang akan berlangsung enam bulan kedepan di Kabupaten Kerinci.

Untuk menghindari terulangnya kembali politik uang, maka pengawasan harus diperketat, dari panitia tingkat kabupaten, kecamatan dan desa masing-masing ditubuh tim sukses calon harus mampu melakukan pendekatan dan meyakinkan masyarakat pemilih dengan menyampaikan program yang dituangkan melalui visi dan misi masing-masing calon.

Bukan menawarkan uang ratusan ribu rupiah, kepada pemilih untuk memenangkan pertarungan menduduki jabatan kepala desa (kades). Dari informasi diperoleh dugaan akibat politik uang sudah puluhan desa dalam kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, pada pilkades 2019 silam berakhir dengan keributan antar sesama pendukung calon. Ini yang tidak kita kehendaki.

Padahal pesta demokrasi pilkades adalah proses pemilihan bagi masyarakat menentukan calon pemimpin mereka ditingkat desa. Seharusnya menjadi pesta kegembiraan masyarakat, yang aman dan nyaman menggunakan haknya sebagai warga desa yang sah, berhak dipilih dan memilih.

Pemimpin terpilih dalam pilkades, adalah sosok tokoh yang diharapkan mampu memayungi seluruh warganya, membangun kepentingan masyarakat untuk waktu enam tahun kedepan atau selama masa jabatan kepala desa terpilih.

Jika suara pemilih bisa di bayar dengan uang umpamanya Rp300 ribu persuara, berarti calon pemenangnya harus mengeluarkan uang tunai ratusan juta rupiah, bahkan bisa mencapai satu miliar rupiah, untuk menduduki kursi / jabatan kepala desa.

Jika politik uang terus dijalankan, kita khawatir akan lahir kades/ pemimpin terpilih tingkat desa bermental korup, dan muaranya ke Bui atau penjara. Ini sudah banyak bukti diKabupaten Kerinci dan provinsi Jambi serta provinsi tetangga seperti Bengkulu dan Sumatera Selatan, sebagaimana dipantau Wartawan Gegeronline.

Kalau tetap dipaksakan politik uang, oleh salah satu calon atau beberapa calon, (jual beli suara), sangat di khawatirkan terjadinya kekerasan antar pendukung, antara yang kalah dan menang atau pembakaran seperti kasus di Pilkades Tanjung Genting Mudik.

Dampak lainnya banyak antar mereka yang bersaudara kandung dan saudara sepupu lain pilihan setelah pilkades tidak lagi melakukan tegur dan sapa, padahal jauh sebelum pilkades mereka hidup damai dan berdampingan, saling tolong satu sama lainnya. Yang jadi korban tentu masyarakat awam dengan ilmu dan pengalaman terbatas.

Dan ironisnya kades terpilih pun tidak melakukan upaya perdamaian, dan membangun silaturrohmi kembali, jadi yang dikorban masyarakat antar pendukung.

Maka masyarakat harus cerdas dalam pilkades, jika ada calon yang berulangkali membujuk dan mengantarkan uang, “silakan ambil dan jangan pilih orangnya” anda pemilih, memilih siapa kan tidak ada yang tahu? Yang tahu hanya anda sendiri.

Jika untuk menduduki sebuah kursi kades harus menghabiskan sampai Rp700 juta, bahkan mungkin lebih tergantung banyaknya mata pilih, tidak tertutup kemungkin uang yang dikucurkan itu, akan dikembalikan dari sumber uang pembangunan desa, saat ini dari DD (Dana Desa) dan ADD (Alokasi Dana Desa), yang nilainya pertahun mencapai Rp1,3 miliar/ desa.

Tak heran banyak desa di Kabupaten Kerinci lima dan enam tahun terakhir ini, atau sejak pemerintah pusat mengucurkan dana desa (dd) dan kabupaten mengucurkan alokasi dana desa (add), banyak desa yang tak mampu melakukan perubahan secara siqnipikan sesuai dengan anggaran yang dicairkan.

Bayangkan lima tahun saja bergulirnya dana desa ditambah add, berarti uang yang beredar di setiap desa lebih kurang enam miliar rupiah. Banyak sarana dan prasarana yang bisa dibangun untuk kepentingan masyarakatnya. Jika digunakan secara benar oleh kades terpilih.

Tapi yang menonjol para oknum kepala desa mempertontonkan pada masyarakat memiliki mobil baru, anak-anaknya memiliki hp (hanphone) android baru diatas harga Rp3 juta X jumlah anak perkades. Membeli kebun (ladang) ada yang sampai tiga bidang, dan memiliki selingkuhan dicafee-cafee dan bahkan Istri baru.

Dari mana sumber uangnya? Sedangkan masyarakat didesa masing-masing tahu persis ekonomi para oknum kepala desa sebelum menjadi kades. Dan lain halnya oknum kades yang sudah mapan secara ekonomi dan kaya sebelum menjabad kades. Dengan usaha dan punya kebun (ladang) produksi yang jelas dan terang dimata masyarakatnya, wajar saja hidup mewah berleha-leha dengan hasil keringatnya sendiri.

Jika masyarakat tidak mengindahkan, contoh buruk apa yang sudah terjadi. Bila kepala desa terpilih, melakukan kejahatan merampok uang rakyat DD dan ADD, tak perlu disesali, karena anda sudah menerima uang jual beli suara saat proses pilkades berlangsung, rasakan saja pahitnya.

Banyak para fakar berpendapat tingginya angka korupsi, mulai dari tingkat terendah jabatan kades, camat, bupati, walikota dan gubernur, ini disebabkan karena rakyat salah memilih pemimpinnya.

Solusi dan jalan keluar terbaik, seluruh balon dan calon kades yang lolos mengikuti persyaratan teknis sah menjadi calon membangun kekuatan lewat persaingan sehat dengan menawarkan program yang terbaik untuk masyarakat, dan berani teken kontrak politik dan anti korupsi serupiah pun uang dari pemerintah untuk pembangunan kepentingan rakyat (masyarakat)nya.

Bukan membangun kekayaan pribadi, kelompok, dan individu. Kades terpilih/ pemimpin disebuah desa harus bangga menjadi pemimpin yang miskin (cukup makan) anak dan istri serta membina pendidikan anaknya dan generasi kedepan, dan hidup bersahaja.

Jangan bangga dengan memiliki, mobil, ladang, sawah yang luas, dan istri dua dan selingkuhannya, yang diperoleh dari merampok dana pembanguna desa, kita akan menuai kehancuran dalam waktu yang panjang. Dan mungkin selamanya…?

Laporan: Zoni Irawan

Editor: Gafar Uyub Depati Intan ).

  • Whatsapp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *