Jabatan Kepala Daerah Sumber Uang Dan Kekuasaan Yang Empuk

Ket Foto: Gafar Uyub Depati Intan dan Zoni Irawan

Dari Catatan Terabaikan: Gafar Uyub Depati Intan-Zoni Irawan

Persaingan ketat proses Bakal Calon (Balon) Bupati, Walikota dan Gubernur Kepala daerah sampai ditetapkan sebagai calon tetap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah masing-masing semakin seru. Saling jegal Balon, melalui tim sukses dan penguasaan partai pengusung dan pendukung, berjalan seru, karena jabatan Kepala daerah, (Bupati, Walikota dan Gubernur), adalah jabatan penting sebagai sumber uang dan kekuasaan yang empuk. Maka Balon, berani jor-joran merebut posisi jabatan orang nomor di daerahnya masing-masing.

Bacaan Lainnya

Jabatan Kepala daerah menjadi rebutan, kendati harus dibayar mahal puluhan miliaran rupiah, untuk keluar sebagai pemenang dan menguasai jabatan Kepala daerah. Karena jabatan Bupati, Walikota dan Gubernur Kepala daerah, pertama sumber uang bagi pejabatnya, kedua sumber Kekuasaan (kekuatan) untuk menentukan segala bentuk kebijakan pembangunan daerah, sebagaimana dijelaskan diatas tadi.

Maka jabatan ini menjadi rebutan diseluruh Indonesia. Namun alasan klasik dari seluruh Balon (Calon) dalam visi dan misinya meningkatkan kesejahteraan rakyat (masyarakat) di masing-masing daerah.

Semua Visi-Misinya untuk membangun daerahnya, agar lebih baik dari sebelumnya. Itulah catatan hitam diatas putih dalam visi dan misinya para Calon Kepala daerah. Bukan ladang Korupsi (sumber keuangan) pejabat dan keluarganya. Dan bukan sumber kekuatan (kekuasaan), retorikanya tidak sama sekali.

Semua visi-misinya para calon, memberi harapan selangit kepada masyarakat untuk hidup lebih baik. Untuk merebut kemenangan tetap memperalat masyarakat yang telah memiliki hak memilih dan dipilih.

Caranya, yang sudah terjadi sejak tahun 2004 silam, pada pemilihan Kepala daerah (Pilkada) langsung pertama menjinakkan (membujuk) masyarakat menjelang Pilkada dengan “memberi sejumlah benda dan uang pada masyarakat Calon pemilih”

Benda berupa kain sarung, baju koko, peci, makna (telekung), sajadah, ambal, kepada perorangan, rumah-rumah ibadah, alat-alat musik (hiburan), berupa alat rebana, alat olah raga, lampu penerang dan lain sebagainya. Semua ini dibeli dari uang para Calon, tapi tidak termasuk dalam Politik uang (money politic).

Sedangkan bagi Calon Kepala daerah baik langsung atau melalui tim sukses yang memberi uang untuk memilih dirinya, bila tertangkap basah baru dianggap Politik uang (beli suara) untuk memenangkan Pilkada di setiap daerah.

Ironisnya balon-balon Kepala daerah yang mau jor-joran memberikan bantuan pada masyarakat pemilih, baik berurapa pakaian, alat perangkat ibadah dan uang inilah yang dianggap baik oleh masyarakat (calon pro rakyat). Jadi, sejak pilkada perdana secara langsung 2004 silam, terjadinya Politik uang oleh para Balon Kepala daerah, masyarakat juga turut sebagai pelakunya, penerima sogok dari Calon.

Karena masyarakat membuka peluang sebesar-besarnya kepada para Calon Kepala daerah, yang dianggap baik adalah Calon yang bisa dan mau memberi uang atau hadiah lainnya pada warga pemilih.

Jadi tak perlu heran, apa lagi kaget jika Kepala daerah terpilih dan terlantik saat menjalankan tugas pengabdiannya selama lima tahun untuk masyarakat daerahnya banyak yang tidak focus 100% menggunakan uang pembangunan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Karena Ia ingin mengembalikan uang yang dikeluarkan saat proses dan Pilkada berlangsung.

Untuk merebut dan menguasai kemenangan harus mengeluarkan biaya puluhan miliar rupiah, dan ingin dikembalikan dalam kurun waktu masa jabatannya. Dan tak perlu kaget jika Bupati, Walikota dan Gubernur Kepala daerah banyak yang ditangkap dalam OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK RI menerima suap dari para pengusaha (rekanan) kontraktor didaerah. Bagi yang ketahuan “menerima suap atau sogok” dari pihak-pihak yang berkepentingan. Diduga banyak terjadi dalam kasus suap untuk mendapatkan proyek, surat Izin usaha perkebunan besar, jabatan strategis di dinas Pemda setempat.

Dan dalam kasus “jual beli jabatan.” Tak heran banyak Kepala daerah dalam masa jabatannya harus berpindah tempat tinggal dari gedung mewah ke hotel prodeo (penjara) dan dihukum secara fisik dibalik terali besi. Itupun, jika penegakan Hukum kita berjalan sebagaimana mestinya, bila tidak puluhan Kepala daerah lolos jeratan Hukum dari berbagai kasus yang menderanya.

Kuatnya persaingan perebutan dan empuknya jabatan Kepala daerah, (Bupati, Walikota dan Gubernur), dimulai dari penguasaan partai pendukung oleh Balon, contohnya di Solo Gibran Raka Bumi Raka, disebut-sebut sebagai Calon tunggal Walikota Solo, karena sejumlah partai menyatakan dukungan pada Gibran.

Dan di Solo, PDI-Perjuangan sebagai pengusung utama Gibran, adalah partai kuat memiliki banyak kursi di DPRD setempat, apa lagi Gibran putranya Presiden RI VII Joko Widodo, yang juga mantan Walikota Solo dua periode itu.

Dari Solo, kita melihat data pencalonan Walikota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Di Kota Sungai Penuh, Walikotanya saat ini Asyafri Jaya Bakri sangat populer dengan panggilan AJB, adalah seorang professor, sudah penjabat periode kedua (dua periode), sebentar lagi akan berakhir ditahun 2020 ini.

Siapa Balon (Calon) penggantinya? Hampir mirip dengan di Solo, anak dari AJB (Asyafri Jaya Bakri) Fikar Azami, yang juga mantan Ketua DPRD Kota Sungai Penuh, dijagokan sebagai Calon kuatnya.

Karena pasang Fikar Azami-Yos Andrino, sudah menguasai 18 kursi pengusung dari 25 kursi di DPRD Kota Sungai Penuh. Sedangkan tiga Balon lainya, Zulhelmi-Arfensa, Ahmadi Zubir-Hardizal, Pusri Amsy-Hardizal, sedang berjuang memperebutkan 7 kursi DPRD Kota Sungai Penuh, yang masih tersisa, jika menjelang hari H penetapan Calon tetap, kursi tidak diborong habis oleh Fikar Azami, anak Walikota Sungai Penuh itu, (saat ini).

Bila diborong 23 kursi saja, maka pasangan Fikar Azami-Yos Adrino, sebagai Calon tunggal Walikota Sungai Penuh dalam Pilwakot tahun ini. Ini bukti bergengsinya jabatan Kepala daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur).

Sama dengan di Solo, dari sang ayah, akan diwariskan ke anaknya dengan pembungkus melalui Pilkada langsung (demokratis), memang dalam ketentuan berlaku di RI (Republik Indonesia) saat ini boleh, tidak melanggar konstitusi, adalah hak setiap warga Negara yang memenuhi persyaratan.

Khusus Balon (Calon) Walikota Sungai Penuh, Jambi pasangan Fikar-Yos telah mengantongi 17 kursi partai dari 25 kursi DPRD Kota Sungai Penuh diantaranya, Partai Demokrat 6 kursi, Hanura 3, PAN 3, Berkarya 1, PKS 2, Golkar 1, PKB 1, jumlah 17 kursi.

Sedangkan kursi yang masih tersisa PPP 3 kursi, Gerindra 2, Nasdem 2, PDIP 1, bila ke 8 kursi tersisa ini juga dikuasai duwet Fikar Azami-Yos Andrino, maka di Kota Sungai Penuh Jambi ini, akan menjadi Solo kedua, pasangan Fikar-Yos, akan melawan Kotak Kosong. Tinggal masyarakatnya, mau pilih apa tidak nantinya?

Tinggal tergantung masyarakat Kota Sungai Penuh, sebagai pemegang hak Politik mau atau tidak memilih pasangan ini?. Secara teori, dengan menguasai 17 kursi saja, akan mampu merebut jabatan Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh, apa lagi seluruh Kursi di dewan bisa di kuasainya.

Ini juga salah satu bukti, kuatnya permainan uang dan Politik, dari informasi diperoleh 17 kursi yang sudah dikuasai Fikar-Yos, tidak ada yang gratis, minimal uang makan siang dan transportasi bagi pengurus partai Politik.

Karena, mendirikan partai dan menjadi pengurus partai mulai dari tingkat pusat sampai ke Desa-Desa, Kelurahan menghabiskan banyak uang, makanya sulit diyakini, kalau ada yang gratis atau tanpa uang mahar.

Latar belakang Balon/Calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Sungai Penuh, Jambi ini Fikar Azami, mantan Ketua DPRD Kota Sungai Penuh (anak AJB Walikota Sungai Penuh) saat ini. Yos Andrino, mantan anggota DPRD Provinsi Jambi.

Sedangkan Zulhelmi Wakil Walikota Sungai Penuh, (Wakil AJB saat ini), Arfensa mantan Sekda Kota Sungai Penuh. Ahmadi Zubir Kepala Kesbangpol Kabuaten Kerinci, Hardizal mantan anggota DPRD Kota Sungai Penuh. Pusri Amsy mantan Sekda Kota Sungai Penuh, Antos Santoni Ketua STIE Kerinci (Akademisi).

Serunya pertarungan dari proses Balon menjadi Calon Walikota Sungai Penuh, sebuah pembelajaran bagi masyarakatnya, ambisi Fikar Azami menggantikan sang ayah (sebagai pewarisi) jabatan Walikota Sungai Penuh berikutnya. “sangat kuat”

Melihat proses Balon (Calon) Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh, dalam Pilkada serentak tahun ini, masyarakat harus cerdas menggunakan hak pilihnya, hanya ada satu pasang lagi Balon (Calon) yang menyusul.

Bila sisa 7 kursi tidak diborong habis oleh Fikar-Yos. Soalnya, sejumlah masalah dugaan melawan Hukum sang ayah dan telah didemo ke KPK RI Jakarta, oleh masyarakat dan Mahasiswa Kota Sungai Penuh dan Kerinci, Jambi belum satupun yang terungkap? Ini menujukkan Asyafri Jaya Bakri (AJB), menjabat Walikota Sungai Penuh dua periode hebat (tangguh) mengatasi masalah.

Empuknya jabatan Kepala Daerah: Diperebutkan oleh keluarga Bupati yang menjabat dua periode, kali ini kita ke Rejang Lebong. Di Rejang Lebong, turut menjadi Balon Bupati Rejang Lebong, pada Pilkada tahun ini Ny. Susilawati, istri mantan Bupati Rejang Lebong H. Suherman, yang menjabat dua periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Kini Ia mencalonkan istrinya Ny. Susilawati, yang digadang-gadangkan sebagai Calon kuat Bupati Rejang Lebong, untuk masa bhakti 2021-2026. Sekedar mengingatkan catatan kembali, Suherman yang menjabat dua periode juga bergelimang kasus, contohnya penggunaan dana tak terduga yang nilainya miliaran rupiah, dan telah diperiksa pihak penyidik Kejaksaan Negeri Rejang Lebong ternyata aman-aman saja, dan belum berlanjut?

Dan kasus Jalan Jambu Keling 21,5 km dan menghabiskan dana sebesar Rp. 58 miliar, pernah dilaporkan ke Polda Bengkulu oleh Umar Bakri mantan anggota DPRD Rejang Lebong dua periode, juga tidak berlanjut. Kabarnya telah di cabut.

Dan berikut kasus dugaan pemotongan bantuan uang makan dan ngopi untuk 600 PNS dilingkungan Pemda Rejang Lebong, dengan nilai miliaran rupiah pernah dibayarkan satu kali menjelang Pilkada tahun 2009 silam. Prosesnya juga tidak jelas sampai saat ini. Ia, (Suherman, red) berusaha keras mencalonkan istrinya sebagai calon Bupati Rejang Lebong, tahun ini.

Berikutnya A. Hijazie, Bupati Rejang Lebong dua periode, 1999-2004 saat itu Ia dipilih oleh anggota DPRD Rejang Lebong. Dan 2014-2019, karena terjadi perubahan jadwal Pilkada serentah maka Ia dilantik Februari 2016-2021.

Hijazi, kendati menjabat Bupati Rejang Lebong dua periode sama dengan Suherman, kini Ia mencalonkan anaknya sebagai Calon Wakil Bupati Rejang Lebong, berpasangan dengan Syamsul, (Sahe) Syamsul-Hendra. Ini bukti jabatan kepala daerah sangat bergengsi, kendati diposisi wakil.

Hijazi, selama menjabat bupati dua periode ini juga punya catatan gelap, tapi semuanya lolos dari jangkauan Hukum? Terlepas persoalan yang dihadapi, mencalonkan anak, istri, menantu di bolehkan dalam konstitusi yang berlaku di Negeri ini. Tinggal kecerdasan masyarakat pemilih, yang memiliki hak kedaulatan, menggunakan hak pilihnya nanti.

Kita semua berharap siapapun yang terpilih baik sebagai Bupati, Walikota dan Gubernur Kepala daerah, akan tetap amanah. Lain generasi dan periode tentu cara berfikirnya berbeda-beda pula, kita berharap kemenangan itu terbaik untuk rakyat, membangun daerahnya masing-masing. Semoga Amanah.  (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *