Oleh: Amir Mahmud, S.Ag, MH.
Opini Oga Gandradika Oktavora, SE. bertajuk “Lawanlah yang Berotak Bukan Kotak” tanggal 8 September 2020 di media Geger online media kesayangan warga Kerinci dan Sungai Penuh Provinsi Jambi ini sangat menarik bagi semua yang berotak dan kemungkinan tidak diminati oleh kalangan tertentu yang bangga bertarung melawan kotak kosong. Sangat menyentuh bagi saya kalimat pemungkas Opini Wartawan Senior tersebut “Apa tidak malu, masa yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak”?.
Secara ringkas ajang lima tahunan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat dikatakan merupakan arena pertarungan. Dalam setiap pertarungan minimal ada dua petarung yang masing-masing berusaha meraih kemenangan. Jadi minimal harus ada dua yang saling berlawanan dan keberadaan dua yang berlawanan itu adalah rukun bagi pertarungan. Jika tidak itu bukan pertarungan namanya.
Seperti dikemukakan Oktavora dalam Opininya, dalam pilkada 9 Desember 2020 nanti, “sejumlah calon tunggal di 31 daerah” termasuk di Kota Sungai Penuh diprediksi berpotensi melawan kotak kosong”. Menurut Oktavora, itu “pertanda demokrasi itu tidak sehat”. Hemat saya apabila tinjauan diarahkan pada apa yang diharapkan oleh calon dan kumpulan partai politik yang bernafsu memunculkan calon tunggal dan kekuasaan tanpa oposisi yang potensial muncul dari kemenangan melawan kotak Kosong, maka apa yang saya sebut Kumpeniisme akan terlihat terang seperti terangnya listrik yang cahayanya memenuhi ‘Istana’ pimpinan partai politik.
Kita semua umumnya tahu Kumpeni adalah sebutan masyhur di zaman penjajahan untuk menyebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dengan segala cara dan tak beradab memonopoli perdagangan berikut sumber-sumber produksi hasil bumi Nusantara. Dengan Monopoli yang dilakukannya Kumpeni tidak ada pesaing, tidak ada lawan dagang dan tidak ada rival produksi hasil bumi komoditas perdagangan internasional dari seantero Nusantara. Kumpeni pun dapat sesuka hati menguasai dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dari Hindia Belanda yang dijajahnya. Pada masa itu Kumpeni menjadi Perusahaan multinational terbesar sejagat berkat monopoli tak beradab dan serakah yang dilakukannya.
“Isme” berarti paham. Kumpeniisme dengan demikian dapat dimaknai sebagai paham Kumpeni. Kumpeniisme dalam Pilkada yang ditandai dengan pertarungan calon tunggal berotak melawan kotak kosong tak berotak, sesungguhnya tidak lain merupakan gejala monopoli kekuasaan tidak berakhlak dan motif keserakahan yang bersimaharajalela di tubuh partai-partai politik.
Kumpeniisme tidak hanya akan merusak demokrasi, tapi lebih jauh akan merengsek menghancurkan sendi kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan sosial yang menjadi bagian pokok substansi Pancasila. Kumpeniisme dalam fenomena calon tunggal melawan kotak kosong bahkan dapat merubuhkan esensi keberagaman pikiran dan aspirasi rakyat yang merupakan bagian dari substansi Binneka Tunggal Ika.
Kumpeniisme harus dilawan dan kewajiban bagi setiap anak bangsa yang mukallaf untuk itu dengan berbagai cara dan menurut kemampuan masing-masing. Tidak berlebihan untuk menyatakan adalah fardhu kifayah bagi intelektual atau praktisi Hukum dan akademisi untuk melakukan uji materiil terhadap setiap aturan perundang-undangan super konyol yang memberi ruang bagi terlaksananya Pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong yang mencerminkan Kumpeniisme yang sangat merusak.
Penulis adalah Advokat tinggal di Kota Batam, dan mantan anggota Ombudsman RI Kepulauan Riau (Kepri).