Cerbung: Gafar Uyub Depati Intan
Bagian Pertama
Subaidah, begitu aku memanggilnya. Ia, memiliki nama lengkap, “Ratu Subaidah” ia gadis kampung yang menawan, mempesona, dan menarik perhatian banyak pihak, apa lagi para remaja seusia dia sembilas tahun.
Dan para bujangan, jauh diatas usianya, bahkan para hidung belang, lelaki dan suami orang, “nakal” banyak menggoda Subaidah, namun selalu ditolaknya secara halus. Kata Hendra, pemilik Kidung Perahu Tiris, yang juga seorang Jurnalist otodidak, yang pernah mengenalnya. Hendra, lalu mencerita pada kawan-kawannya, Subaidah anaknya cantik, sopan walau berpendidikan rendah (cukup) lepas dari buta hurup.
Lalu sahabat karib, Hendra bernama Sikulub, bercerita aku sudah berkenalan dengan Subaidah dan menggodanya, kukatakan aku siap hidup di Kebun Kopi tua ini.
Subaidah, menjawab ramah sama jawaban pada Hendra, artinya tawaranku ditolak kata Sikulub. Lalu kedua sahabat itu, terbahak-bahak ketawa, hahahahhh. Kau, tak tahu diri “Kulub” kata Hendra, Iya, namanya tawaran (usaha), biasa gagal, tapi akukan sudah berusaha, kata Kulub. Prinsipnya lanjut Kulub, lebih gagal dari tidak mencoba, tidak berusaha sama sekali.
Aku ini anak desa, dan punya pendidikan sangat terbatas hanya SLTA, paparnya merendah Seraya tersenyum sambil memegang kumpulan bunga berwarna merah jambu. Seraya mengatakan apalah artinya anak Desa dan hidup mengaiz rezeki dari kebun kopi tua, peninggalan sangkakek yang sudah lama wafat.
Dari kopi itulah kami berjuang menjalani hidup ini bersama keluarga, ayah, ibu dan tiga adiknya.
Ayah, kata Subaidah sudah berusia lanjut, kini berkepala tujuh dan sering sakit-sakitan, bayangkan, ibu umurnya berkepala enam. Aku, kini terpaksa harus menggantikan posisi mereka yang sudah tua itu, untuk menyekolahkan tiga adikku, papar Subaidah pada Hendra, yang sudah lama mengenalnya.
Hendra, lalu mensupport Subaidah inilah warna kehidupan, pada masing-masing kita (orang), dan orang sukses selalu berliku, terkadang meniti onak dan duri, menjalani dan memperjuangkan kesulitan hidupnya dan hidup keluarga. Perjuangan kerasmu, pertanda awal akan bisa sukses. Subaidah, tersenyum Seraya mengatakan Bang Hendra, bisa-bisa saja, amin-amin semoga perjuangan ini, diridho’i dan diberkahi tuhan yang maha kuasa.
Iya,…iya sambut Hendra. Sambil ngobrol, silakan kopinya diminum Bang, tawar Subaidah. Aku, seorang jurnalist perokok dan banyak yang pengopi berat. Ni,…maaf bang. Silakan diminum kopi, hanya ini yang ada, snack kita tak lebih pisang rebus dan jagung, ini snack terbaik bagi kami dikebun. Ini, wajib kita syukuri, pertanda tuhan masih sayang dengan kita. Bagi abang kata Hendra, ini lebih dari cukup, kita harus bersyukur menikmati yang ada, inilah bahagia namanya kata Hendra.
Bahagia itu, mudah lanjut Hendra, hanya pada orang yang pandai bersyukur, orang yang bisa menikmati yang ada dan mensyukurinya, “itulah bahagia” kata Hendra, disambut senyum Subaidah. Iya, bang semoga perjalan dan perjuangan kedepan di ridho’i tuhan yang maha segalanya. Bersambung,…..pada edisi berikut.
“Jika terdapat nama dan tempat yang sama, hanya kebetulan. Ini awalnya kisah nyata, tapi diangkat dalam bentuk Fiksi. Cerita ini ditulis oleh seorang Wartawan, penghantar tidur ditengah kantuk yang tinggi. (***)