Ozzy Sulaiman Sudiro: Ketua Umum KWRI Saat UU Pers Disahkan Dewan Pers Belum Ada

Dok

Catatan: Gafar Uyub Depati Intan

Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Ozzy Sulaiman Sudiro (OZZ SS), yang juga menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjend) Majelis Pers, tidak henti-hentinya memperjuangkan roh marwah Pers Reformasi hingga, hal ini menyikapi adanya tekanan dari berbagai pihak kepada insane pers, perusahaan pers dan redaksional, “seolah-olah dewan pers lah yang benar?”

Bacaan Lainnya

Kita setuju, kalau adanya penertiban media yang disebut abal-abal dan tindakkan oknum Wartawan yang sengaja menyalahgunakan wewenang, tugas-tugasnya sebagai jurnalistik yang telah diatur dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang telah dilengkapi dengan 11 poin Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Namun Ozzy Sulaiman Sudiro, akrab dipanggil Ozzy, menolak keras masih adanya pihak atau oknum tertentu yang mengkriminalisasi kebebasan Pers.

Hal ini telah berulang kali disampaikannya dalam berbagai kesempatan ditengah kesibukannya menjalankan roda organisasi Pers Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI).

Hal ini untuk ; “Menyikapi statemen Dewan Pers hanya mengakui beberapa organisasi dan verfikasi media yang akhir–akhir ini, menurut Ozzy, bukan persoalan baru dan merupakan lagu lama cuman penyanyi baru dan kaset kusut, karena wajar ketua Dewan Persnya baru, jadi butuh panggung walaupun suaranya Fals dan sumbang.”

Hal ini juga membuat kegaduhan dan merusak iklim dinamika Pers yang kondusif sebagai salah satu rumusan kompetensi wartawan.

Kita harus realistis menyikapi fenomena pesatnya perkembangan pers Indonesia, maka keberadaan Dewan Pers sudah tidak lagi menjadi payung hukum para organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan.

Sekjen Majelis Pers yang juga ketua umum KWRI Ozzy Sulaiman Sudiro mengatakan, Dewan Pers bukan Lembaga Verifikasi apalagi legislasi penentu kelayakan sebuah organisasi maupun media.

Sesuai tupoksinya jelas bahwa keberadaan Dewan Pers hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi seluruh organisasi pers dan perusahaan media.

Jadi, sesuai Undang-Undang, lanjut Ozzy, keberadaan Dewan Pers tidak ada satupun pasal yang menerangkan kewenangannya terkait legislasi dan verifikasi, namun hanya boleh mendata organisasi wartawan dan perusahan media.

“Apalagi memiliki Hak menentukan kebijakan yang justru berpotensi memberangus kemerdekaan pers itu sendiri dengan modus akal-akalan untuk kepentingan “rulling party”, padahal seharusnya sesuai salah Satu fungsi dewan pers adalah melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, bukan malah mematikan kehidupan pers,” tegasnya.

Ozzy juga menguraikan, pers adalah produk etika, secara eksistensinya, produk jurnalis adalah muatan informasi. Munculnya berbagai macam konflik horizontal maupun vertikal terhadap sengketa pers yang menandakan lemahnya UU Pers.

Banyak keluhan masyarakat terhadap pers antara lain, masih banyak media yang mengabaikan nilai-nilai privasi, mengembangkan berita berbau pornografi, fitnah, gosip, isu SARA, sadisme serta mengemas berita dalam dimensi konflik, atau pada intinya masih banyak media yang mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik di dalam pemberitaannya.

Kita perlu tahu, apa lagi bagi Wartawan pemula (baru); Sejarah lahirnya Majelis Pers Independen (MPI) dari rahim reformasi yaitu pada tahun 1999 yang merupakan prakarsa dan buah pemikiran dari 28 organisasi pers reformis yang di Pelopori oleh KWRI kala itu, untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan pers.

Majelis Pers berhasil menyusun kode etik wartawan dan menyerahkan rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Pers ke DPR RI.

Itulah yang membidangi lahirnya Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, secara konstitusi Undang Undang tersebut mengamanahkan *akan dibentuk Dewan Pers independen.*

Karna Dewan Pers warisan produk rezim Orde Baru itu telah dinyatakan demisioner oleh Yakob Utama sebagai Pelaksana Harian Dewan Pers saat itu di hadapan para pimpinan organisasi-wartawan pada tanggal 5-7 Agustus tahun 1999 di hotel Topas Bandung yang juga merupakan rangkaian kegiatan sebelumnya yaitu rapat kordinasi (Rakor) Departemen Penerangan pada tanggal 26-28 Mei tahun

1999 di Hotel Garuda Malioboro Yogyakarta yang dihadiri sejumlah para pimpinan organisasi wartawan.

Sebagai rangkaian kegiatan Saat itu pula dilanjut dengan rapat-rapat di Dewan Pers dengan disepakati beberapa hasil keputusan bersama.

Beberapa hal diantaranya meratifikasi kembali kode etik wartawan Indonesia (KEWI) menjadi kode etik jurnalistik (KEJ) serta memberi penguatan-penguatan kepada dewan pers sebagai ujung tombak umat pers dalam mengawal agenda reformasi dan demokrasi sebagai bagian dari pilar ke empat (4) demokrasi.

Diera reformasi, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 merupakan garis lurus amanah UUD’45. Dengan adanya Amandemen pasal 28 huruf (a) sampai (f) tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dan memperoleh hak Informasi, serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Republik Indonesia, Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.

Maka UU Pers perlu dikaji ulang karna UU No. 40 thn 1999 tentang Pers sudah tidak lagi Relevan dan bertentangan dengan UUD 1945. Mengingat bahwa lahir UU No. 40 thn 1999. Sementara UUD 1945 sudah mengalami beberapa kali amandemen, terutama termaksud tentang pasal HAM.

Artinya bahwa UU No.40 thn 1999 tentang Pers jadi prematur dan belum sempurna karena bertentangan dengan UUD yang sudah diamandemen.

Jadi seyogyanya Dewan Pers tidak boleh membuat aturan atau regulasi mengenai organisasi pers maupun media/wartawan, karena Dewan Pers hanya merupakan lembaga AdHoc.

Hal ini sesuai Pada pasal 1 UU Pers tidak ada definisi Dewan Pers dalam Ketentuan Umum sebagai ruh UU Pers. “Dewan Pers baru muncul pada Pasal 15 UU Pers.Jadi saat UU Pers disahkan. Dewan Pers belum ada dan baru kemudian dibentuk oleh organisasi pers mengacu dari pasal 15,”

UKW (Uji Kompetensi Wartawan) : Dampak negatip dikeluarkannnya Uji Kompetensi Wartawan (UKW), timbul berbagai masalah didaerah, banyak para oknum Wartawan hanya sekedar mengambil sertifikat (Tanda sudah lulus UKWI), dianggap Wartawan yang sah, padahal para oknum yang lulus UKW, nota benennya tak mampu menulis.

Ini terjadi di Provinsi Bengkulu. Para oknum Wartawan, hanya menjadikan tanda sudah lulus UKW, menjadi alat untuk mendapatkan pengakuan, dan alat mencari iklan (uang) bukan melahirkan karya Jurnalistik yang jujur bertanggungjawab dan professional, karena untuk mendapatkan sertrifikat (tanda lulus)/ mampu sebagai Wartawan, harus dibayar, bukan gratis.

Ironisnya para oknum Wartawan yang lulus UKW, bercerita ngalur ngidul kepada para oknum didaerah, dengan mengatakan “Wartawan yang tidak lulus UKW atau tidak ikut UKW, jangan dilayani untuk konfirmasi. Ini pernah terjadi di IAIN Curup-Bengkulu, sehingga oknum pejabat dilembaga pendidikan itu, percaya begitu saja, tanpa filterisasi yang benar.

Akhirnya menimbulkan banyak konflik dikalangan Wartawan yang sudah UKW dan yang tidak mau ikut UKW. Dan dampak lebih ironis lagi, akibat tindakkan oknum Wartawan yang sudah UKW itu, dan baru dua, tiga hari menjadi Wartawan akhirnya terjebak, bersama oknum pejabat dilembaga pendidikkan itu.

Terbongkar dugaan Korupsi di IAIN Curup, atas pembangunan peningkatan Gedung IAIN, sebesar Rp. 28 Miliar taun anggaran 2018 hingga kini, dan tiga tersangkanya telah ditetapkan penyidik Polda Bengkulu, Nyaris tak diberitakan oleh oknum Wartawan yang telah berstatus UKW, yang katanya Wartawan yang sah dan benar.

Dan timbulnya pendapat kerdil dari oknum pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk tidak menerima konfirmasi dari Wartawan yang non UKW, dan berita di bedah besar-besaran oleh BidikElangOpoisi dan Gegeronlne, akhirnya yang rugi pihak-pihak oknum pejabat di lembaga pendidikkan itu sendiri.

Sehingga suaranya unutk memberikan hak jawab, bantah, sanggah dan hak memberikan keterangan seluas-luas tidak terakomodir dengan baik. Dan Wartawan media ini, membongkar dan menulis apa adanya, kini ketiga tersangka akan berlanjut prosesnya kepengadilan, seperti oknum Beni Gunawan (BG), Evi dan Bujang Hendri.

Dan pembangunan IAIN Curup, kini magkrak alias terbengkalai. Total dana yang dikucurkan untuk pembangunan Gedung IAIN itu, total Rp. 32 miliar, Rp. 28 miliar fisik dan Rp 4 miliar perencanaan, kini sisa dananya diteruskan dan dikelola PPK baru pengganti PPK sebelumnya yang telah jadi tersangka. Oknum Wartawan yang menyebarkan cerita tak sedap tentang jangan menerima Wartawan yang belum UKW, menghilang tak jelas rimbanya. Kasus pengusutan dana sebesar Rp. 28 miliar itu, terus bergulis akan menuju meja hijau.

Apakah bisa dibenarkan tindakkan oknum Wartawan UKW, yang nota benenya dari salah satu organisasi Wartawan yang ada diropvinsi Bengkulu. Yang terjadi hanya penyesatan informasi pada masyarakat dan pejabat Negara didaerah.

Sumber : Ozzy Sulaiman Sudiro, Tulisan saudara, Obor Panjaitan dikutif kembali, Investigasi Penulis dan Wawancara berbagai pihak berkompeten.

Editor/ Penanggungjawab : Gafar Uyub Depati Intan, Ketua DPD-KWRI Bengkulu 2020 – 2024 dan Redaktur Rafflesia Pos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *