KWRI SATU: Jemput yang Tertinggal, Satukan yang Terpisah, Gandeng yang Terabaikan

Gafar Uyun Depati Intan

Catatan Yang Terbabaikan, Gafar Uyub Depati Intan  

Gafar Uyub Depati Intan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Wartawan Reformasi Indonesia, (Indonesia Reformation Journalist Comite). KWRI, salah satu organisasi Wartawan Indonesia yang sah, sama dengan organisasi Wartawan lainnya. Terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan Keputusan Kongres II Nomor 14 tahun 2021. Keputusan Menteri Hukum dan Kah Asasi Manusia Nomor AHU-00285.60.10.2014 Tentang Pengesahan Struktur Personalia Kepengurusan DPP_KWRI Periode Tahun 2014-2019 sebagai landasan Hukum.

KWRI, salah satu pelopor organisasi Wartawan Reformis Indonesia yang lahir dari marwah roh reformasi Indonesia, 22 Mei 1928 satu hari setelah kejatuhan Pemerintahan Orde Baru (Orba) dibawah Pimpinan Presiden Soeharto.

Yang dibidani para Wartawan senior Indonesia saat itu. Dan para fakar Hukum, yang cinta perubahan dan melepaskan belenggu Pers era orde baru berkuasa selama 32 tahun, yang dibelenggu dan ditekan dengan berbagai bentuk tekanan, sehingga kebebasan Pers “dibelenggu rapat” dan tak sedikit insan pers (Wartawan) ditanah air kita tercinta ini menjadi korban. Tekanan, Penganiayaan dan bahkan Kematian.

Tentu para pendahulu kita (para Jurnalist senior) baik yang sudah wapat menghadap panggilan tuhan yang maha esa dan yang masih hidup telah merasakan suka-dukanya jadi Wartawan sejak era orde lama (Orla), dimasa Republik ini dibawah Presiden Soekarno, 1945-1967 sampai era orde baru 1967-1928.

Misalnya Wartawan Mochtar Lubis (alm), BM Diah (alm), Yakub Utama, dan sejumlah senior terkini misalnya, Karni Ilyas Pemimpin Redaksi TV ONE, kita para Yunior, yang baru kemaren mengenal dunia Jurnalist dan menulis, wajib bersyukur atas perjuangan mereka yang begitu gigih untuk menegakkan kemerdekaan Pers Indonesia.

Khusus alm Mochtar Lubis, walau penulis belum pernah bertemu langsung ketika beliau masih hidup, namun hakqulyakin dengan karya-karyanya, baik sebagai Wartawan pemberani, Sastarawan dan Budayawan Indonesia dizaman orla sempat ditahan selama 9 tahun dan masa orba ditahan selama 3 bulan, belum lagi bentuk-bentuk tekanan lainnya.

Kita insan Pers yunior, maaf yang baru kemaren sore memegang Pena dan menjalankan dunia Jurnalist, wajib bersyukur kepada tuhan yang maha kuasa, (maha segalanya), kita (bangsa) Indonesia ini pernah memiliki pejuang Pers, penegak demokrasi Indonesia yang cinta kebenaran dan keadilan. Prestasi dan dedikasinya harus menjadi contoh bagi kebaikkan mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan Negara.

Dan kita juga penting mengingatkan kembali perjuangan insan Pers Indonesia jauh, (sebagai toladan) jauh sebelum Indonesia merdeka ditengah tekanan pemerintahan Hindia Belanda yang menyakitkan bangsa ini, Pers lahir melakukan perlawanan yang hebat, memperjuangkan hak-hak setiap insane (manusia) di bumi Indonesia tercinta ini.

Misal kelahiran Media berbahasa Melayu (bahasa Indonesia) pertama, Mingguan “Prijaji.” Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 Tirto Adhi Soerjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften.

“Medan Prijaji” beralamat di Djalan Naripan, Bandung, yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Penulis memandang perlu mengangakat kisah ini, sebagai Pers Reformasi Indonesia, yang ada dan berjuang di era berbeda. Tirto Adhi Soerjo, yang panggil “Mas Tirto” bersama teman-temannya menerbitkan “Prijaji”

Terbit perdana, 7 Januari 1907 s/d 1912, Selama lima tahun. Tirto Adhi Surjo, Arsad dan Oesman mereka melawan penjajahan asing (Belanda) lewat pembelaan hukum dan media cetak, menyampaikan kondisi riil penderitaan masyarakat pribumi, saat itu.

Tirto Adhi Soerjo, sempat dikenakan delik pers, dan akhirnya diasingkan ke Lampung lalu dibuang ke Maluku Utara.

Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan.

Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, diwajibkan bagi calon pelanggan untuk terlebih dahulu membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham.

Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500.

Edisi perdana f 1.000

Ketika pertama kali terbit di Bandung, “Medan Prijaji” mencantumkan moto di bawah nama “Medan Prijaji” sbb: “Ja’ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda”.

Delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Surjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirto Adi Soerjo, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di ‘s Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Juga disebut adanya beberapa journalist bangsa Tiong Hoa dan pribumi antara lain Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Surat kabar harian sunting sunting sumber.

Pada tahun 1910 di Betawi, “Medan Prijaji” terbit tiap hari kecuali hari Jumat dan Minggu dan hari raya. Nomor 1 terbit pada 5 Oktober 1910.

Rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta penyuluhan hukum gratis yang disediakan Medan Prijaji kepada rakyat yang berperkara. Usaha inilah yang menjadikan koran ini berkembang. Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya, tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: “untuk harian Eropa di Hindia pun sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu….”

Ketika pertama kali terbit menjadi harian tetap, mengambil tahun IV karena tahun I, II, dan III masih mingguan yang terbit di Bandung. Di bawah judul surat kabar harian “Medan Prijaji” itu tertulis moto: “Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia”.

Di zaman itu, merupakan sebuah keberanian luar biasa mencantumkan moto seperti itu. Medan Prijaji menjadi surat kabar pembentuk pendapat umum, berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada masa itu. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya terhadap tindakan-tindakan kontroler.

Medan Prijaji mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Prijaji tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung.

Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Prijaji. Di seluruh karesidenan Jawa, Medan Prijaji bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.

Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep Purworejo. Medan Prijaji dengan bahasa terbuka memuat artikel tentang persekongkolan jahat antara Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga.

Sementara kandidat pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan prijaji No 19, 1909. Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau Tirto kena denda atas tulisannya.

Tirto memang kalah dalam perkara persdelict dengan A Simon itu dan dibuang ke Lampung dua bulan. Tapi dari kasus itu, Medan Prijaji mendapat perhatian pers di Belanda dan Tirto berkesempatan berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka politik etik Mr C Th van Deventer dipasarkan hingga di daratan Eropa.

Dari sepak terjang itu Medan Prijaji pun menjadi model pertama dari apa yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra’jat. Yang khas Medan Prijaji terletak pada kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa si kawula.

Medan Prijaji, lagi-lagi, menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.

Edisi terakhir sunting sunting sumber

Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 tahun VI. Pada 23 Agustus 1912 Medan Prijaji pun ditutup. Mas Tirto Adhi Surjo, juga dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja).

Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Mas Tirto Adi Soerjo disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).

Kendati kita insan Pers Indonesia berada dalam era dan jaman yang berbeda, penulis merasa perlu menyimak jauh kebelakang bahwa dibumi Indonesia tercinta, telah melahirkan manusia hebat dimasanya, sebagai journalist pejuang dengan perlawanannya, membangun dan menegakkan demokrasi, guna melahirkan rsa keadilan ditengah masyarakat.

Nah pertanyaan berseleweran dari masyarakat kepada Pers Indonesia, apa lagi yang menamakan diri dan organisasinya Pers Berdaulat, Perlawanan dengan Reformasi. Apa yang harus kita lakukan kedepan?…..

Tulisan dikutif dari berbagai sumber. Maaf, jika tulisan ini jauh dari harapan pembaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *