SEMBILU RAPUH Bagaimana Jadi Pejabat, Jadi Tukang Angkat Saja Sulit?   

Gafar Uyub Depati Intan

Bagian Keempat: Cerbung Gafar Uyub Depati Intan

Waktu berjalan cepat, hari dan bulan dilalui tak tersa akhirnya Hendra berhasil menyelesaikan pendidikannya Cuma batas SLTA, Ia sedikit bebas menjalani hari-harinya di Kota Tercinta Padang. Dan masih menjalani kehidupan menjadi tukang angkat.

Bacaan Lainnya

Pada suatu hari ada penertiban pasar, agar lebih teratur dan bersih dan lancarnya lalulintas diseputar Pasar Raya, Kota Padang itu. Ia, melihat langsung para pejabat dari Pemda Kota turun langsung kelokasi, lengkap dengan baju atributnya, dan tanda-tanda pengenal yang mentereng.

Hendra, sempat duduk terdiam melihat jalannya penerbitan, tanpa kekerasan dan para pedang kaki limanya (K5), belum terlalu bandel mereka mau ditertib dengan cara baik-baik, dan menurut tanpa harus menggunakan Pentungan dan tidakan keras lainnya dari petugas.

Yang terfikir dan terbesit dalam hati, bagaimana jadi pejabat daerah/ negara yang memiliki banyak anggota (anak buah), untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, hanya tinggal mengarahkan saja, dengan kata kerja…kerja dan lakukan. Semua bekerja.

Hendra, berfikir meradang jauh. Bagaimana nasib ku kedepan kalau terus menerus menjadi tukang angkat. Sedangkan jadi tukang angkatpun selektip apa lagi mau jadi pejabat negara, tukang angkat harus jujur, mulai dari komunikasi yang baik dengan pemilik barang.

Dan menjaga barang jangan sampai ada yang rusak, apa lagi terjatuh atau hilang. Para tukang angkat diperintah pemilik toko agar mengantarkan barang sampai tujuan atau keatas mobil pemilik barang belanjaannya itu.

Untuk menjadi pejabat, memang tidak mudah harus memiliki nilai lebih, mulai dari pengusaan ilmu dibidangnya, jujur, konsisten dengan tanggungjawabnya, pandai melobi, loyal pada pimpinan (atasan) agar terpakai terus.

Sementara aku kata Hendra dari hatinya yang dalam mengatakan, aku punya apa, jadi PNS saja belum. “uang aku tak punya, keluarga dekat yang jadi pejabat, aku juga tak punya?” Apa yang harusku lakukan, agar hidup lebih baik dari orang tuaku dikampungku, Kerinci sana, adalah keluarga buta hurup, miskin dan buta segalanya.

Hari kian larut, sore meredup menjelang senja. Pasar Raya, beranjak sepi. Hendra memilih pergi ke Pantai Padang, untuk menghibur jiwa yang sepi dan kosong, seraya memandang jauh dari pantai Muara Padang, melihat kebarat senja kian berangsur memerah, pemandangan kian indah dan menarik. Semua perjalanan dan perjuangan keras dalam kehidupan kian terasa, dihatinya hanya berbisik sunyi.

Duduk sendiri tanpa kekasih, disekitarnya banyak kaum remaja ber-evoria dengan kesenangannya, karena punya uang yang cukup apa lagi anak-anak para pejabat di Kota itu. Mereka menikmati senangnya sebagai remaja, dan bercengkeram dengan pasangannya.

Hendra, sempat merasakan sunyinya keindahan pantai, terkadang senyap dalam lamunannya. Lalu dihatinya berkata, aku harus kemana dan bagaimana kedepannya?

Hendra lalu bangkit dari lamunannya, aku harus bekerja lebih keras lagi mencari hidup yang lebih, hingga bisa kunikmati jalan yang lebih baik dari hari ini? Hendra melangkah pulang ke kostnya di Lakuk, yang cukup jauh berjalan kaki, masuk gang keluar gang dan melakukan jalan pintas.

Pas magrib Ia sampai di kamar kostnya yang berukur 2, 5 m X 2 m dengan bola lampu penerang tak lebih dari 10 Watt itu sudah ketentuan pemilik rumah. Dengan Sewa Rp 35 ribu per bulan. Lalu ia masak didapur umum seperti biasanya bersama kawan-kawan kostnya dari Sumatera Utara, Riau, Bengkulu dan Jambi.

Mereka yang umum kost dikamar yang lebih baik dengan harga bervariasi dan ada yang pantastis lebih baik (istimewa), tergantung kemampuan masing-masing.

Setelah Sholat Maqrib dan makan, Hendra membuka buku-buku bekas dari sebuah kardus, tentang orang-orang miskin dan tertindas di Afrika, seputar tentang perbedaan kulit Putih dan Hitam serta kemiskinan terutama pada kulit hitam.

Dan Hendra, yang hobby membaca itu, juga menemukan sebuah buku seputar orang-orang yang berjiwa besar, berfikir merdeka. Dari membaca buku-buku itu, Hendra bangkit lebih percaya diri.

Pada buku yang bercerita tentang ras putih dan hitam serta kemiskinan, maka Hendra berfikir kian dalam, bahwa kemerdekaan dan demokrasi harus menjadi benteng. Jika tidak yang lemah akan terus menjadi korban, apa lagi tidak sekolah.

Sedangkan dalam buku orang-orang yang berjiwa besar dan berfikir merdeka, menanamkan rasa percaya diri yang kuat, untuk mencapai tujuan. Hendra, ditengah bekerja keras dan berfikir, untuk mencari makan sesuap nasi masih bekerja sebagai tukang angkat di Pasar Raya Kota Padang, itu di lakoninya sejak kelas satu di salah satu SLTA, hingga lulus dan memasuki tahun keempat sebagai tukang angkat.

Nekat masuk ABRI: Ketika itu ditahun 79/80 TNI sekarang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan jauh sebelumnya sudah diumumkan pemerintah anti pungutan liar (Pungli), dan penertiban timbangan dijalan lintas/ Provinsi dilakukan kencang, ada harapan yang kuat akan bisa lulus, karena tanpa Pungli?.

Hendra, sebelum pergi kerja menjadi tukang angkat di toko-toko Pasar Raya Kota Padang, ia menyempatkan diri membaca koran-koran bekas, karena ada tetangga kost yang berlangganan Harian Haluan Padang.

Dalam sebuah terbitannya ada pengumumuman penerimaan KKO (AL), Hendra sangat tertarik untuk masuk AL, lalu menyiapkan diri dan berkas lamaran, hanya berbekalkan kemauan pribadi sama sekali tanpa uang dan dukungan moral lainnya.

Begitu lulus seleksi berkas dan harus melanjutkan ke Surabaya, singkat cerita uang untuk berangkatpun tidak ada, dan uang yang dikumpulkan selama menjadi tukang angkat tidak cukup, singkat cerita Hendra, gagal.

Ditengah kelelahan, ada lagi dibuka penerimaan Calon Tamtama Bhayagkara di Bandar Lampung, dengan modal nekat naik PO Bis Gumarang Jaya, setelah ikut Tes, gagal di Tes Kesehatan akhirnya gagal lagi. Hendra, sempat Linglung, dihatinya berkata betapa ujian semakin berat.

Lalu Ia, meningkatkan olah raga Sepak Bola yang selama ini ditekuninya baik disekolah maupun di Klub-klub di kampung, kali ini ia bergabung dengan klub gabungan anak Desa Gedong Tataan di Lampung Selatan, sambil bekerja mengurus ayam ras. Itu berjalan dua tahun.

Dan malam harinya ikut bekerja di Bioskop Gedong Tataan, khusus pemutaran film dari pekan ke pekan Lancar Tancap, selama dua tahun lebih.

Dan sedang naiknya nama Syopan Syofyan, dan baru naiknya nama Roy Marten, ternyata di Layar Tancap hanya batas memperluas pergaulan dan tak ada ilmu yang bermanfaat kuat untuk mendukung masa depan. Uang yang didapatkan hanya habis dari malam kemalam, dan cenderung kehiburan total.

Akhirnya memilih jalan lain, kembali keolah raga. Dan memilih Kota Curup-Bengkulu, didaerah Provinsi Bengkulu inilah pertarungan hidup mati dijalankan. Dikota ini, sempat membela Tim Persirel (Perserikatan Sepak Bola Rejang Lebong) selama 10 tahun, sebagai pemain inti dan menjadi pelatih Yunior 1980-1988.

Hendra, sempat turut menghantarkan Persirel ke Devisi I PSSI, sambil bekerja dibagian Pengairan Dinas PU Rejang Lebong selama tujuh tahun tujuh bulan lima hari, sebagai tenaga horer. Namun nasib belum beruntung, Hendra memilih mundur dari tenaga honorer. Dan memilih dunia Jurnalist.

Hendra yang hobby membaca itu, membuka kembali buku-buku tentang kaum miskin, miskin perkotaan (marjinal), miskin dipedesaan, miskin didaerah terpencil, yang ditulis sejumlah fakar ekonomi, pengamat masalah kemanusiaan, miskin diakibatkan sistem dan pendapat para kaum mikin itu sendiri maka perlu dilakukan perbaikan sumber daya manusia (ketrampilan) mereka untuk hidup berusaha.

Demikian juga tentang buku yang menulis orang-orang yang berjiwa besar, berfikir merdeka dalam menegakkan hukum untuk keadilan dan kebenaran perlu disebar luaskan pada khalayak sampai pada tingkat tertentu, atau penderitaanya.

Pilihan untuk penyampaian pesan lebih tepat dan independent dilakukan para jurnalist yang punya komitmen kuat dengan landasan kejujuran. Maka pilihan Jurnalist dianggapnya yang terbaik, dan tidak bermaksud mengabaikan pihak manapun.

Sebagai jurnalist otodidak, maka Ia belajar dan banyak membaca. Buku baginya adalah guru, dan apa yang telah dibaca merupakan petunjuk awal untuk mengetahui lebih dalam harus disesuaikan dengan fakta dilapangan.

Banyak buku, banyak pendapat, tidak semua pendapat itu benar. Maka setiap pendapat, atau fakta informasi yang diperoleh harus diuji kebenarannya.

Bersambung, Cerbung ini sesungguh adalah kisah nyata, ditulis kembali untuk mengingat banyaknya generasi melenium yang putus sekolah bukan karena faktor ekonomi, melain salah memahami, menerima dan menggunakan informasi dan diracuni dengan budaya kebarat-baratan, yang diperolehnya dari teknologi canggih saat ini. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *