Kisah Si Kulup Anak Durhaka

Oleh: Bujang Purajuk

Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat Sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang ada dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual di pasar.

Bacaan Lainnya

Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah, mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan, namun tidak pernah merasa menderita.

Suatu ketika, Ayah Si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makanan mereka bertiga. Saat menebang rebung, ayahnya Si Kulup melihat sebatang tongkat yang berada pada rumpun bambu.

Pak Kulup demikian orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul-betul dan dibersihkan ternyata tongkat bertaburan intan permata dan merah delima.

Ia juga tetap membawa rebung untuk kembali pulang karena dari situlah mata pencahariannya sehari-hari. Pak Kulup dengan perasaan was-was serta takut berani membawakan tongkat itu ikut pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya Si Kulup sedang tiduran sedangkan isterinya berada di rumah tetangga.

Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tetapi pemuda itu tidak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta dan badannya masih terasa lelah. Ia tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata. Pak Kulup pergi menyusul isterinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Bu Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya.

Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang. Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab : “Mau disimpan dimana. Kita tidak punya lemari.”

Kemudian, Si Kulup pun memberikan usul, “Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.”

Akhirnya, mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain dan pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian, tongkat itu pun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.

Setelah Si Kulup menjadi kaya raya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di daerah perantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar kaya, maka ia pun diambil menantu oleh saudagar paling kaya di negeri tersebut.

Si Kulup sudah beristeri. Mereka hidup serba berlebihan dan suka berfoya-foya, Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat. Setelah bertahun-tahun, mereka hidup dirantau, kemudian mertuanya si Kulup menyuruhnya untuk berniaga ke negeri lain bersama isterinya.

Lalu, Si Kulup membeli sebuah kapal besar dan juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.

Mulailah, mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu, Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya.

Ketika sampai di muara Sungai Cerucuk, mereka segera berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti : ayam, itik, angsa, burung. Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya merasa sangat rindu, lebih-lebih emaknya.

Emaknya menyiapkan makanan kesukaan Si Kulup seperti : ketupat rebus, belut panggang dan sebagainya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.

Sesampai di kapal, kedua orang tua itu mencari anaknya dan Si Kulup yang sudah menjadi saudagar kaya melihat orang tuanya merasa malu, maka dia mengusir kedua orang tuanya sendiri. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang tanpa ada rasa belas kasihan.

Saudagar kaya itu marah sambil berucap :
“Pergi ! Lekas pergi. Aku tidak punya orang tua seperti kau. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *