12 Modus Korupsi DD dan ADD Kades di Kabupaten Kerinci

Ilustrasi/Net

Catatan: Sandra Boy Chaniago

Perampok uang rakyat, (Korupsi) diduga ada dimana-mana diseluruh Indonesia, tak terkecuali di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Dan jarang tersentuh secara hukum, ada apa…?

Bacaan Lainnya

Jurnalist BEO.CO.ID, menyampaikan dalam laporanya ada 12 (dua belas) modus operandi korupsi Dana Desa (DD), sumber APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) sumber Dana Alokasi Umum (DAU) APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), keduanya sudah lima tahun terakhir dikucurkan pemerintah pusat dan daerah ke masing-masing Desa termasuk Kabupaten, Kerinci.

Khusus Kabupaten Kerinci, yang terdiri dari 18 Kecamatan, 285 Desa dan 2 Kelurahan, bayangkan ratusan miliyar uang dikucurkan pemerintah untuk membangun dan membenahi perekenomian di pedesaan, anehnya tak semua Desa dan Kelurahan mampu mengubah keadaan agar lebih maju dan masyarakatnya sejahtera?

Dengan berbagai alasan dari para oknum Kades berdalih, ‘’gagal’’ membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Terkadang alasan disinyalir dibuat-buat para oknum Kades dengan alasan masyarakat sulit diatur, banyak protes, ada dendam dari pasca Pilkades dan lain sebagainya.

Alibi dan alasan boleh-boleh saja, tapi faktanya terbukti lain uang yang diberikan pemerintah pusat dan daerah lewat DAK dan DAU (APBN-APBD), tidak digunakan sebagaimana mestinya dan kecendurungan dikorupsi sangat mungkin terjadi, buktinya di sejumlah Desa tidak terjadi perubahan besar, bagi perbaikan ekonomi warganya yang siqnifikan, pertahun anggaran.

Lalu, apa yang menonjol dan menjadi isu panas di Desa-Desa pembagian bantuan yang tidak merata timpang dimana-mana, berupa PKH, Subsidi, Sembako, Minyak Goreng, Bantuan lanjut usia (lansia), fakir miskin seharusnya layak menerima, ternyata ada yang tidak pernah menerima sama sekali, seperti yang terjadi di Desa Belui Tinggi, Kecamatan Depati Tujuh, Desa Tanjung Genting Mudik Kecamatan Gunung Kerinci, dan disejumlah Desa lainnya, mereka yang tidak dapat itu, telah didata oleh perangkat Desa. Namun bak raib ditelan waktu, sebagai warga yang punya hak, justru jadi penonton ditengah banyaknya bantuan dari pemerintah pusat dan daerah.

Ini, agaknya Bupati, Camat dan dinas Instansi terkait perlu tahu, dan dengan kewenangannya perlu melihat jauh kebawah, bukan asal bantuan telah disampaikan.

Hal lain yang menonjol menjadi sorotan masyarakat dan isu panas, ‘’banyaknya oknum Kades yang telah menjabat dua tahun membeli mobil baru dari berbagai merk, membeli Ladang (kebun) sampai dua dan tiga bidang, kawin lagi dan selingkuh dimana-mana…?

Kasus ini menonjol terjadi sejak tahun anggaran 2017 silam, setelah dua tahun uang DD (Dana Desa) dikucurkan pemerintah pusat Rp1.000.000.000,00- (satu miliar per Desa) dan ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) lebih kurang Rp 350.000.000,-/ per Desa.

BPD tidak berfungsi? : Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pengawasannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pertama, diduga karena bersekongkol dengan para oknum Kades. BPD terpilih kebanyakkan orang-orangnya Kades, pendukung Kades di pasca Pilkades.

Sebab kedua tidak mengerti tugas pengawasan dan penakut. Ketiga kebanyakan antara Kades dan anggota BPD ada hubungan keluarga, ‘’segan-segan dan malu’’ dan keempat tidak diberi RAB (Rencana Anggaran Biaya), RAB hanya ada ditangan Kades, apa yang dibangun, sehingga tidak mengerti apa yang harus dikaji dan diawasi secara benar.

Tak heran setiap diperiksa oleh pihak terkait, kinerja para Kades, ‘’bermental korup itu’’ dinyatakan hasilnya mulus-mulus saja dan layak diterima.

Jika pengawasan atas penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), sebesar apapun dana di kucurkan pemerintah ke Desa-Desa, akan sulit meningkatkan pembangunan yang mampu memberikan azas manfaat, apa lagi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Dugaan penyalahgunaan DD dan ADD, tergolong banyak di Kabupaten Kerinci, dan sangat minim tersentuh hukum? KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) RI, dalam keterangan Persnya di Jakarta beberapa tahun lalu menenggarai modusnya korupsi memiliki pola yang hampir sama, seperti pengadaan barang dan jasa, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah menentukan arah penggunaan DD dan ADD dimasing-masing Desa.

Beberapa waktu lalu, Tiem BEO.co.id, bersama rekan Wartawan dari media online Iwan Efendi (Portal Buana), Alfia (Garuda Terkini), dan Yantoni (Metro 88), bersama Wandi Adi dari LSM PKLH, (Peduli Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan LSM, Kontrol Pendidikkan dan Pembangunan (KPP), mereka para aktivis di Kabuaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, yang mendiskusikan secara sederhana modus operandi dugaan korupsi dalam pengelolaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Diskusi yang sederhana itu berlangsung disebuah Warung Kopi di Bukit Tengah, pusat pemerintahan Kerinci. Singkat cerita dari diskusi ringan bermodalkan Kopi dan makanan ringan, ada dua belas (12) modus korupsi yang terjadi di Kabupaten Kerinci khususnya dalam pengelolaan DD dan ADD

1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, ini bisa diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka, dan menggunakan potensi lokal Desa. Misalnya, pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di Desa, sehingga bisa melakukan cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan.

2. Mempertanggung jawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan Dana Desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh Desa.

Modus seperti ini banyak dilakukan karena relatif tersembunyi. Karena itulah APBDes harus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan pengawasan atasnya.

3. Meminjam sementara Dana Desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar biaya S2.

4. Budaya ewuh-prakewuh di Desa menjadi salah satu penghambat pada kasus seperti ini sehingga sulit di antisipasi.

5. Pungutan atau pemotongan ADD oleh oknum pejabat Kecamatan atau Kabupaten. Ini juga banyak terjadi.

6. Membuat perjalanan Dinas fiktif Kepala Desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja.

7. Penggelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat Desa. Jika modus ini lolos maka para perangkat Desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan kasus seperti ini.

8. Penggelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bisa dilihat secara fisik tetapi harus pula faham apa saja alokasi yang telah disusun.

9. Memungut pajak atau retribusi Desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas Desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur Dana menyangkut pendapatan dari sektor pajak ini.

10.Pembelian inventaris kantor dengan Dana Desa, namun peruntukkan secara pribadi.

11. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat Desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan Dana Desa agar kasus ini tidak perlu terjadi .

12. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai Dana Desa. Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar.Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari Dana Desa.

Oleh sebab itu, menurut wartawan dan LSM (kelompok diskusi) di kabupaten Kerinci, sebuah penyalahgunaan wewenang akan selalu terjadi karena ada kesempatan yang terbuka. Masyarakat harus jeli untuk melihat dikemanakan anggaran dana desa tersebut.

Misalnya, berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga atau masyarakat dan berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan aktif memonitor setiap kegiatanya dalam pertahun anggaran. (***)

Penanggung jawab : Gafar UyuB Depati Intan/ Ketua KWRI Provinsi Bengkulu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *