JAKARTA,GEGERONLINE.CO.ID–Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung diakui memang masih banyak memiliki kekurangan, salah satunya karena kepala daerah terpilih yang justru terjerat kasus korupsi.
Namun, mengembalikan proses pemilihan langsung menjadi tidak langsung seperti pada era Orde Baru, dianggap bukanlah solusi untuk menyelesaikan praktik korup kepala daerah.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menilai, persoalan korupsi kepala daerah sebenarnya bisa diatasi apabila ada komitmen dari elite partai politik untuk tidak membebani calon kepala daerah dengan mahar yang tinggi.
Diakui Saan bahwa adanya korupsi kepala daerah tidak terlepas dari proses yang salah ketika seorang calon kepala daerah hendak dicalonkan. Hal inilah, yang menurut dia, harus dihilangkan.
“Itu kan akibat tadi, politik transaksional terlalu besar. Misalnya terkait dengan mahar,” kata Saan saat dihubungi, Selasa (11/10/2022).
“Kan kenapa misalnya mereka melakukan itu (korupsi)? Karena ada proses yang salah. Proses yang salah ketika mereka mau maju,” imbuhnya.
Meski demikian, ia tak sepakat bila mengembalikan pilkada dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung merupakan solusi untuk menekan kasus korupsi kepala daerah.
“Belum ada alasan itu,” ucapnya.
“Kalau semua elite punya komitmen yang sama untuk tidak melakukan itu, kan biaya lebih murah,” imbuhnya.
Wacana mengembalikan pilkada langsung menjadi tidak langsung mencuat saat Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Kompleks Parlemen, awal pekan ini.
Bamsoet menyampaikan bahwa wacana itu muncul karena adanya kekhawatiran semakin banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, sehingga harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun aparat penegak hukum lainnya.
Saan menambahkan, untuk melihat apakah ada dampak atas penyelenggaraan pilkada langsung dengan praktik korupsi kepala daerah, perlu dibuat kajian mendalam. Misalnya, dengan membuat persentase berapa banyak kepala daerah terpilih yang tersangkut kasus rasuah dengan yang tidak.
“Dibuat persentasenya itu. Jadi, kalau misalnya dibuat persentase dari 500 sekian kepala daerah hasil pilkada, bupati, wali kota, terus 33 gubernur hasil pilkada berapa persen yang misalnya, ada melakukan tindak pidana korupsi. Dibuat persentasenya,” tutur Saan.
“Nah kenapa mereka melakukan itu. Oh ternyata ada biaya. Kita coba pikirkan itu. Menurut saya ya,” tambah politikus Nasdem itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Junimart Girsang menilai, tidak ada jaminan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menghilangkan praktik transaksional dalam kontestasi daerah itu
“Itu relatif dan tidak menjadi jaminan untuk tidak transaksional. Semua kembali kepada politik demokrasi yang bersih,” kata Junimart kepada wartawan, Rabu (12/10/2022).
Sejauh ini, ia menambahkan, Komisi II belum memiliki rencana untuk merevisi Undang-Undang Pilkada yang berlaku pada saat ini.
Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, MPR dan Wantimpres terkesan memaksakan kehendaknya agar kepala daerah dapat kembali dipilih DPRD.
Selain itu, menurutnya, kedua institusi itu seakan menyalahkan masyarakat yang dinilai menjadi penyebab politik berbiaya tinggi.
“Ini enggak fair,” tegas Lucius saat dihubungi.
Politik berbiaya tinggi, menurut dia, belum tentu disebabkan oleh pelaksanaan pemilihan secara langsung. Pragmatisme parpol justru tak jarang membuat kandidat kepala daerah terbawa arus.
“Kalau parpol yang jadi masalah, kan perubahan sistem pilkada ke tidak langsung pasti bukan solusinya,” ucapnya.
Di sisi lain, menurutnya, demokrasi Indonesia sudah cukup maju dengan menempatkan rakyat di jantung sistem melalui pemilihan pemimpin secara langsung, baik pusat maupun daerah.
Kendati demikian, ia juga sepakat jika sistem pelaksanaan Pemilu di Indonesia masih banyak kekurangan.
Namun, hal itu bukan menjadi satu-satunya alasan untuk kembali ke sistem lama yang sudah diubah.
Sumber: Kompas.com