Catatan yang terabaikan, Gafar Uyub Depati Intan
Masyarakat harus kompak dan berani melakukan pengawasan secara benar dan bertanggungjawab, berpijak diatas dasar kejujuran dan kebenaran dalam penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk kesejahteraan masyarakat di Desanya masing-masing. ‘’Bukan memperkaya Kades/ BPD, keluarganya atau kelompok.’’
Karena praktik kotor sudah berlangsung lama, sejak dana DD dan ADD sebagai dana pendamping dari Pemerintah, Kabupaten dan Kota dikucurkan tahun 2015 silam hingga kini memasuki tahun 2023 bulan Januari sudah berjalan 8 (delapan) tahun rata-rata telah dikucurkan dana oleh pemerintah sebesar Rp. 8, 5 miliyar/ Desa.
Jika dana tersebut digunakan maksimal, tanpa korupsi berarti terjadi perubahan yang positif meningkatnya kesejahteraan masyarakat di Desa masing-masing, dan menurunnya angka kemiskinan. Bayangkan pengelolaan dana DD setiap tahunnya ditambah ADD, lebih kurang Rp. 1,5 miliyar/ Desa, banyak sekali sarana dan prasarana yang bisa dibangun secara fisik dan non fisik.
Namun, kejahatan bisa terjadi kapan saja, karena ada niat dari pelakunya, dan terbuka kesempatan (peluang), tanpa adanya pengawasan yang benar, jujur dan bertanggungjawab. Dan jangan sampai adanya pembiaran, karena BPD terpilih umumnya, ‘’orang-orang dari Kades terlantik, yang dipersiapkan sedemikan rupa, sehingga pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya.?’’ Maka peran dan kekompakan masyarakat sangat penting, demi perbaikan kedepannya.
Apa lagi BPD, menjadi alat Kades terpilih melegalkan ‘’perampokan uang rakyat’’ untuk mengatasi dan menghentikannya, salah satu jalan terbaik pengawasan dari masyarakat langsung, mulai dari musyawararah mufakat, apa yang akan dibangun, perencanaannya secara benar, pengawasan dan melihat hasil akhir yang mampu memberikan azas manfaat dan berkualitas, sehingga umur bangunan terpenuhi minimal berumur 5 tahun.
Masyarakat diberi hak melakukan pengawasan dan mendapatkan informasi secara benar sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Diperjelas dalam Pasal 68 ayat (1) hurup (a) Kepala desa dalam menjalankan tugasnya harus akuntabel, transparan, efektif dan efesien, bersih, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, dan memberikan informasi pada masyarakat desa sebagaimana diatur pada Pasal 26 ayat (4) hurup (f) dan (p).
Maka pengawasan optimal secara internal harus dilakukan ditingkat internal Desa melalui BPD dan perangkat Desa, sehingga tujuan akhir pembangunan dapat dicapai, memberikan azas manfaat, meningkatnya kesejahteraan dan menurunnya angka kemiskinan didesa masing-masing.
Pemerintahan Desa harus membuat, UNIT PENGADUAN PELAYANAN PUBLIK (UP3) DESA, sehingga masyarakat bisa memberikan masukan, dan menjelaskan ketimpangan dan kesenjangan yang masih terjadi dalam pembangunan Desa.
Pemerintahan Desa perlu menyadari kelemahan Dumber Daya Manusia (SDM), yang dimiliki. Untuk mendukung sistem pemerintahan desa yang baik, maka perlu dilakukan peningkatan SDM yang ada, melalui keikut sertaan dalam berbagai kegiatan Bimbingan teknis (Bimtek), kursus dan koordinasi dengan pemerintahan Kecamatan, Kabupaten dan Kota, tidak hanya diam, hanya menunggu dana DD dan ADD dari tahun ke tahun.
BPD sebagai garda terdepan dalam pengawasan pemerintahan, pembangunan dan perangkat desa, harus berani dan jujur melakukan pengawasan di Desanya masing-masing. Dengan pengawasan yang baik dan bertanggungjawab, dengan harapan DD dan ADD mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang sejahtera dan mengurangi kemiskinan pedesaan.
Jika BPD tidak sanggup, lebih baik memilih mundur dan meletakkan jabatan dari pada merusak sistem pengawasan yang bisa bermuara pada pembiaran, dan bebasnya perampokan uang rakyat di Desa.
Presiden Joko Widodo, sudah berulangkali mengingatkan para Kades seluruh Indonesia, agar menggunakan Dana Desa tepat sasaran, tepat guna, tepat waktu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunnya angka kemiskinan di Desa.
Pembangunan Desa menjadi salah satu skala prioritas Pemerintah Pusat, sebagaimana dijelaskan dalam NAWACITA ketiga tujuannya membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat Desa dan daerah dalam kerangka memenuhi kebutuhan Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak dikucurkan Dana Desa mulai dari tahun 2015 silam sampai tahun anggaran 2021 sedikitnya sudah Rp. 4001 triliyunan Dana Desa mengalir untuk membangun lebih 70 ribu Desa di Indonesia, dengan tujuan yang dibangun Pemerintah RI, ‘’mengurangi jumlah warga miskin, mengurangi kesenjangan antara warga Kota dan Desa, hakikinya mensejahterakan masyarakat Desa. Memang sudah banyak perubahan dan peningkatan, namun tidak sedikit yang harus diperbaiki dan ditingkatkan kedepannya.
Dalam pelaksaaannya tidak sekali-kali membangun kekuatan ekonomi kelompok tertentu, memperkaya oknum Kades, keluarga dan kolehanya, maka peran BPD dan Masyarakat harus diutamakan, agar bermanfaat untuk kepentingan yang lebih besar.
Sejak DD dan ADD dikucurkan Pemerintah pusat dan daerah selama lebih kurang sudah 8 tahun berjalan, uang beredar disetiap Desa sudah mencapai lebih kurang Rp. 9 miliar / Desa, bayangkan jika para Kades dan BPD jujur dan mampu mengelola keuangan dimasing-masing Desanya dengan baik, minimal masyarakat Desa sudah sejahtera, dan tidak sebaliknya?.
Sebagian besar hasil temuan Wartawan BEO.co.id dan gegeronline.co.id serta para aktivis peduli kepentingan masyarakat dilingkup yang sudah terjangkau, dana yang berlimpah tersebut dan dikucurkan pemerintah sejak tahun 2015 silam menjadi lumbung yang rawan Korupsi.
Pengelolaan dana DD dan ADD, dan bantuan lainnya dari Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota belum sepenuhnya bebas dari Korupsi. Kendati sudah banyak oknum Kades yang dibui, namun belum membuat efek jera bagi Kades.
Trennya justru korupsi (perampokan) terhadap Dana Desa dari tahun ketahun menempati urutan ketiga setelah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan swasta dari segi jumlah pelakunya, dikutif dari berbagai sumber resmi pemerintah dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Tindakan perampokan itu, harus kita hentikan bersama dengan membantu aparat penegak Hukum dengan cara memberikan informasi yang positif dan faktual, guna diproses secara hukum. Dikutif kembali, dari catatan sebelumnya.
Mari kita bersama menjadikan hukum sebagai Panglima, bukan kekusaan yang mencemaskan kita semua, bahkan ratusan oknum Kades dan BPD menjadikan Dana Desa Objek korupsi. Dan banyak yang lolos dari jeratan hukum.?
Sebagai pelaku korupsi para oknum Kades terbanyak jumlahnya melakukan korupsi, dan sangat rawan antara lain saat perencanaan dan pencairan dana. Mana Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota tahu tindakan para oknum Kades, jika bukan ditelusuri jejaknya oleh para aktivis termasuk Wartawan.
Tim Catatan yang terabaikan dan Media BEO.co.id-gegeronline.co.id telah melakukan penelusuran diberbagai tempat khususnya ditiga provinsi Bengkulu, Jambi dan Sumatera Utara. Dalam satu Kabupaten dan Kota jumlah Desa mencapai 200 lebih Padahal dimasing-masing Desa, masih banyak warga, Kepala Keluarga (KK), yang belum punya penerangan listrik, keluarga Gizi buruk, sumber air bersih yang tidak layak, infrastruktur masih banyak yang harus dibenahi dan ditingkatkan. Tak heran pelayanan Pemerintahan Desa (Pemdes) disetiap Desa menjadi keluhan masyarakat.
Untuk kedepannya, kendati sudah banyak yang dicapai melalui pengucuran Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, dan bantuan lainnya dari pemerintah, ‘’maka perlu diawasi dengan ketat Pengelolaan Keuangan, Aset dan Infrastruktur Desa.’’ langsung oleh masyarakat.
Maka harus kita bersama mencarikan jalan keluarnya (solusi), jika terus berulang setiap tahunnya, ‘’berarti / bisa dianggap terjadi pembiaran’’ berarti kita gagal melakukan pengawasan?. Kita harus menyadari tujuan akhir pengawasan terciptanya perbaikan dan pelayanan yang baik untuk masyarakat, agar pemerintahan tingkat Desa dipercaya masyarakatnya.
Para Kades dan perangkatnya tidak perlu alergi dengan pengawasan dari masyarkat, termasuk dari para aktivis, LSM, Wartawan, dan aparat penegak Hukum.
Pemerintahan Desa menjadi kewajiban memberikan dan menerbitkan informasi yang benar pada publik yang berada dibawah kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Unfang-Undang Nomor 6 tahun 2014.
Pemerintahan yang bersih sudah puluhan tahun diharapkan masyarakat, maka untuk memilih pemimpin Desa, Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden, rekam jejak para calon harus dibaca secara jernih dan teliti, hentikanlah politik uang. Jika tetap uang dinomor satukan untuk menggunakan hak pilih, siap-siaplah kita rusak selama enam tahun jabatan Kades dan lima tahun jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Soalnya uang yang diberikan para calon, bukan uang sedekah Ikhlas melainkan uang beli suara, dan otomatis mau mereka kembali dalam masa jabatannya. Tentu, dengan cara merampok uang pembangunan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. (***)
Editor/Penulis & Penanggungjawab : Gafar Uyub Depati Intan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Wartawan Reformasi Indonesia, (DPD-KWRI) Prop. Bengkulu, Pemimpin Redaksi BEO – gegeronline.co.id Group, dan Pengamat masalah Kemiskinan Pedesaan dan Kaum Marjinal Perkotaan serta Masalah Sosial Kemanusiaan.