Sebuah keniscayaan dan tidak bisa dibantahkan bahwa keragaman di Indonesia merupakan rahmat dan takdir dari Tuhan yang Maha Esa. Keragaman di Indonesia, dimulai dengan budaya, suku, etnis, ras, agama, dan bahasa. Keragaman ini juga dapat kita sebutkan sebagai keunikan negara Indonesia. Dengan penuh keragaman, masyarakat dapat hidup di bawah payung Pancasila. Keragaman harus senantiasa disyukuri, dijaga dan dirawat selalu, agar terhindar dari namanya gesekan maupun konflik. Namun, tidak dapat dielakkan bahwa gesekan bahkan konflik besar pernah terjadi di Indonesia.
Dilihat dari catatan sejarah, konflik sosial yang bernuansa agama telah banyak terjadi di Indonesia, sebut saja di Aceh Singkil, Poso, Ambon, Tanjung Balai Sumatera Utara dan lain sebagainya. Konflik ini telah menimbulkan korban dan kerusakan fasilitas umum, rumah dan lainnya. Pada tahun 2025, dari Januari-Agustus fenomena intoleransi masih terdengar di telinga bahkan sampai menyayat hati. Seperti, dilansir dari Tempo.co, pada 27 Juni 2025, pembubaran kegiatan retret pelajar Kristen di Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi yang dilakukan oleh sekelompok warga dengan alasan perizinan. Pembubaran ini menimbulkan kerusakan seperti kaca rumah, meja, dan kursi. Kasus serupa juga terjadi di Kota Padang, sebagaimana dilansir Tempo.co, pada 27/7/2025 terjadi peristiwa pembubaran secara paksa dan perusakan rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah di Padang, Sumatera Barat. Perusakan rumah doa ini dilakukan oleh orang yang tidak di kenal. Bahkan anak-anak di lokasi menjadi korban, ada yang terkena pukulan bagian punggung hingga leher, dan juga ada yang terjatuh dan terkilir kakinya akibat di tendang.
Peristiwa seperti yang terjadi di Padang, sangat memungkinkan terjadi daerah-daerah yang ada di Indonesia selanjutnya. Karena, hemat penulis masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak menerima perbedaan. Oleh karena itu, perlu dibendung intoleransi, mengingat di Indonesia bukan satu golongan saja yang hidup tetapi ada berbagai macam golongan yang menjalani kehidupan di bumi Indonesia. Salah satu solusinya ialah memperdalam pemahaman dan mempunyai sikap yang tertanam dalam diri pribadi masing-masing masyarakat Indonesia yaitu sikap moderasi beragama.
Moderasi beragama merupakan salah satu program pemerintah dan dimasukkan dalam RPJMN tahun 2020-2024 lalu. Hal ini menandakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) sangat serius dalam menjalankan program moderasi beragama di tengah masyarakat Indonesia yang beragam. Sampai saat ini, moderasi beragama masih digaungkan dan dikampanyekan oleh berbagai masyarakat Indonesia.
Pengertian Moderasi Beragama
Pengertian moderasi beragama dalam buku Moderasi Beragama dari Kemenag, “Moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap dan perilaku yang mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama juga harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengalaman agama sendiri (ekslusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik, dan sikap revolusioner dalam beragama” (Kementerian Agama RI, 2019). Dalam Islam,, moderasi dikenal dengan istilah wasathiyah. Wasathiyah berasal dari kata Wasathan yang dimuat di dalam Surah al-Baqarah ayat 143 yang mengandung arti keadilan, yang di tengah, juga berarti baik, indah, kuat, mulia. Makna yang paling umum di dengar oleh masyarakat dari kata wasath ialah yang di tengah (Shihab, 2019).
Menurut Yusuf al-Qardhawi, “Wasathiyyah atau tawazun, merupakan sikap dalam menjaga keseimbangan antara dua hal yang berlawanan, agar tidak ada satu pihak yang terlalu mendominasi. Misalnya, antara kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi, antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, antara cara berpikir realistis dan cara berpikir idealis. Bersikap seimbang berarti memberikan perhatian dan porsi yang adil pada masing-masing sisi, tidak berlebihan dan tidak juga mengabaikan (Qardhawi, 1983). Dalam konteks masyarakat plural, kita tidak dianjurkan oleh agama untuk bersikap berlebih-lebihan, harus seimbang atau di tengah-tengah. Karena umat yang terbaik adalah umat yang berada di tengah-tengah, tidak bersikap ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Kementerian Agama mengeluarkan indikator moderasi beragama yang terdiri dari 4 indikator yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal (Kementerian Agama RI, 2019).
Komitmen Kebangsaan
Komitmen kebangsaan merupakan sebuah sikap tanggung jawab untuk setia dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Komitmen kebangsaan juga menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Wujudnya seperti cinta tanah air, nasionalisme, menjaga persatuan, patriotisme. Moderasi beragama mengajarkan komitmen kebangsaan dikarenakan untuk tetap teguh pendirian terhadap NKRI dan menolak paham-paham khilafah yang ingin menggantikan NKRI dengan negara Islam. Sikap komitmen kebangsaan, seperti tidak menyebarkan paham-paham khilafah kepada masyarakat karena paham ini sangat bertentangan dengan sistem negara Indonesia. Selanjutnya, sikap ini juga mengajak untuk selalu mencintai tanah air karena cinta tanah air adalah bagian dari iman, jugs selalu menjaga persatuan Indonesia.
Toleransi
Toleransi dapat dipahami sebagai cara pandang untuk menghargai perbedaan yang ada di Indonesia, dari kepercayaan atau keyakinan, budaya, suku, dan ras. Toleransi juga menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan orang lain serupa atau sama dengan pendapat maupun kepercayaan dengan kita. Agama Islam melalui al-Qur’an telah mengajarkan untuk menjunjung tinggi nilai toleransi, seperti dalam surah al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”, kemudian di dalam surah al-Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan dalam menganut agama”. Al-Qur’an juga mengajarkan untuk selalu berbuat baik kepada siapa pun yang tertuan dalam surah al-Mumtahanah ayat 8, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.”.
Selanjutnya Surat al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Ayat ini memberikan makna bahwa pentingnya untuk saling mengenal antara satu yang lain agar dapat saling memahami, pengertian dan saling kasih sayang.
Dari berbagai ayat di atas, menyeru agar masyarakat menjalin silaturahmi dengan yang berbeda sekalipun. Hubungan ini akan menimbulkan pertemanan, sehingga dapat menghindari asumsi atau prasangka terhadap yang berbeda. Ketika telah saling mengenal, perlahan-lahan toleransi akan terbangun di masyarakat yang majemuk, sehingga kecurigaan dan kebencian dapat dihilangkan.
Terkadang, kasus intoleransi sering terjadi karena masyarakat enggan untuk tahu, belajar, dan mengenal antar sesama dan yang berbeda. Masyarakat seperti ini sudah merasakan bahwa dialah yang paling benar sehingga menyalahkan orang lain yang berbeda darinya.
Anti Kekerasan
Anti kekerasan di sini dapat diartikan sebagai menolak kekerasan, baik yang berbentuk fisik, ujaran kebencian maupun pemaksaan. Menolak kekerasan berarti menjunjung tinggi nilai perdamaian, baik dalam menyampaikan dan mengamalkan ajaran agama. Sikap anti kekerasan juga mengedepankan sikap dialog, musyawarah dalam menyelesaikan sesuatu permasalahan. Anti kekerasan juga menolak dengan keras sikap radikalisme yang bahkan sampai terorisme. Seperti dilaporkan oleh Kompas, pada 28/3/2021 telah terjadi peristiwa bom di Gereja Katedral Makassar. Peristiwa ini mengakibatkan 20 orang yang tidak berdosa mengalami luka akibat ledakan.
Kekerasan mempunyai berbagai macam bentuk, misalnya kekerasan fisik, seperti penyerangan kelompok lain, penganiayaan karena beda kepercayaan dan keyakinan, dan perusakan rumah ibadah. Kekerasan verbal, seperti fitnah, ujaran kebencian. Kekerasan psikologis, seperti ancaman, intimidasi, tekanan dari kelompok yang berbeda.
Akomodatif Terhadap Budaya Lokal
Akomodatif terhadap budaya lokal yaitu sikap terbuka atau menerima, menghormati, mengapresiasi budaya dan tradisi lokal yang ada di Indonesia yang tidak bertentangan dengan agama. Kenapa nilai ini penting dimiliki masyarakat Indonesia? Karena sejak dahulu kala, bumi Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote sudah dipenuhi berbagai macam bentuk budaya dan tradisi. Untuk itulah, budaya sudah melekat dengan masyarakat, sangat sulit untuk dihilangkan, maka solusinya ialah menerima budaya lokal asal tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Selaku masyarakat Indonesia, sudah semestinya untuk menerapkan nila-nilai moderasi beragama yang tertuang dalam indikatornya, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif budaya lokal ke dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat Indonesia dapat memahami secara mendalam nilai tersebut, intoleransi dapat dihindari. Sehingga menciptakan kehidupan masyarakat yang damai, rukun, dan harmonis.
Sumber:
Qardhawi, Yusuf, Al Khasais al-Ammah li al-Islam (Beirut: al Muassasah al-Risalah,1983).
Shihab, M. Quraish. 2019. Wasathiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. (Tangerang: Lentera Hati).
Tempo.co, 2025. “Kronologi Perusakan Rumah Doa di Padang: Beberapa Anak Dipukul”.
Tempo.co, 2025, “Upaya Mencegah Kasus Intoleransi Seperti di Cidahu Terulang’.
Tim Penyusun Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI).